♠ Posted by admin in Islam,Maulid Nabi at 11.19
Hukum Memperingati Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah (siapakah beliau silahkan klik disini) –semoga
Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan
sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati
maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara
qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan
bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang biasa
diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila
dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
juga tidak ada
dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam disyari'atkan dalam agama
kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau sudah barang tentu
telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau
laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap
terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al
Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak terbukti ajarannya
hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama.
Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan
untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara
peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar
dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh
jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas
merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat
syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun
termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu
jadi agama bagimu". Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara
peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk
bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari
kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena
Allah ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu
agamamu".
Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk
bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru
dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat
Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang
mengadakan acara peringatan maulid Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan
(mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta
menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara
peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk
ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya,
orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk dari ibadah.
Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah
(semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan
maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan
terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk dari
ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan
perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu
peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk
bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.
Rujukan:
Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah
jilid 2 hal 298-300.
Kutipan tambahan :
" Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil "
Kutipan tambahan :
" Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil "
Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? …”. Maka cukup hal itu dijawab dengan hadits ‘Aisyah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Hadits sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah.
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? …”. Maka cukup hal itu dijawab dengan hadits ‘Aisyah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Hadits sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah.
0 komentar:
Posting Komentar