Kisah Hidup Imam Al-Hasan Al-Bashri

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.
Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya” jawab Khai¬roh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pembe¬rian nama.
Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri RasulullahShallallahu Alaihi Wassalam.
Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.
Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya. Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kotaini.Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.
Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.
Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.
Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.
Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim.”
Mutiara kata Imam Hasan Al-Bashri
Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.

Dari Imran bin Khalid bahwa al-Hasan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mukmin yang sesungguhnya adalah yang selalu merasa sedih baik di kala pagi maupun sore, karena dia akan selalu di antara dua rasa takut, antara dosa yang sebelumya telah ia perbuat sedang ia tidak atahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perbuat kepadanya dan ajal yang akan menjemputnya yang juga ia tidak tahu apa yang akan menimpanya dari kebinasaan.”
Dari Hazm bin Abi Hazm ia mengatakan, “Aku pernah mendengar al-Hasan berkata, ‘Sungguh jelek dua sahabat ini yaitu dinar dan dirham, karena keduanya tidak akan memberi manfaat kepadamu sampai keduanya berpisah darimu’.”
Beliau juga mengatakan, “Tidaklah seorang yang memuliakan dirham kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.”

Dari Zuraik bin Abi Zuraik ia berkata bahwa al-Hasan pernah mengatakan, “Sesungguhnya fitnah apabila datang maka akan diketahui oleh setiap yang alim dan apabila ia lenyap baru diketahui oleh setiap yang jahil.”
Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling sholeh di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus meneruslah berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” ~( Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185-187 )~

Wafatnya Beliau
Dari Abdul Wahid bin Maimun maulah Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma berkata, “Datang seorang kepada Ibnu Sirin seraya mengatakan, ‘Aku bermimpi melihat seekor burung mengambil kerikilnya al-Hasan di masjid.’ Lalu Ibnu Sirin berkata, ‘Seandainya yang kamu ucapkan benar maka berarti al-Hasan akan meninggal dunia.’ Tidak berselang lama lalu meninggallah al-Hasan.”
Dari Hisyam bin Hassan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Muhammad bin Sirin pada sore hari di hari Kamis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki selepas shalat Asar seraya mengabarkan bahwa al-Hasan telah meninggal dunia, maka Muhammad bin Sirin mendoakannya dan sepontan raut mukanya berubah kemudian diam seribu bahasa. Beliau tidak berbicara sampai tenggelam matahari.”
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu Masjid jami' di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Hasan al-Bashri dengan rahmat yang luas dan memasukkan kita semuanya ke surga-Nya yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat untuk diraih. Amin.

Sumber : ahlulhadistdotwordpressdotcom dan lain-lain.

Kabar Gembira Sekaligus Peringatan Bagi Ummat

♠ Posted by admin in ,,
(Diriwayatkan) oleh Muslim dari Tsaubân radhiyallâhu ‘anhû, (beliau berkata) bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ ، وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لَا يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ بِعَامَّةٍ، وَأَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ، فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ، وَإِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ، وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَلَّا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ بِعَامَّةٍ، وَأَلَّا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ، وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِيَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا).
“Sesungguhnya Allah telah menghimpun bumi untukku sehingga aku dapat melihat belahan timur dan belahan baratnya, dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai belahan bumi yang telah dihimpun untukku itu. Aku diberi dua harta simpanan: merah dan putih. Aku meminta kepada Rabb-ku untuk umatku agar Dia tidak membinasakan mereka dengan paceklik yang berkepanjangan, dan tidak menjadikan mereka dikuasai oleh suatu musuh selain dari kaum mereka sendiri, yang musuh itu akan merampas seluruh negeri mereka. Lalu Rabb-ku berfirman,
‘Wahai Muhammad, bila Aku telah menetapkan sesuatu, ketetapan itu tidak akan diubah lagi, dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu bahwa Aku tidak akan membinasakan mereka dengan paceklik yang berkepanjangan, dan tidak akan menjadikan mereka dikuasai oleh suatu musuh selain dari kaum mereka sendiri maka nanti musuh itu tidak akan dapat merampas seluruh negeri mereka, meskipun seluruh manusia di belahan bumi berkumpul menghadapi mereka, sampai sebagian mereka (umatmu sendiri) membinasakan sebagian yang lain dan sebagian mereka menawan sebagian yang lain.’.”

Diriwayatkan pula oleh Al-Barqâny dalam Shahîh-nya dengan tambahan,
(وَإنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ المُضِلِّينَ، وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَلْحَقَ حَيٌّ مِنْ أُمَّتِي بِالمُشْرِكِينَ، وَحَتَّى تَعْبُدَ فِئَامٌ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ، وَأَنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ، كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ، لَا نَبِيَّ بَعْدِي. وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُورَةً لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى).
“Dan kekhawatiranku terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang menyesatkan. Apabila pertumpahan darah telah menimpa umatku, hal itu tidak akan berakhir sampai hari kiamat. Kiamat tidak akan tegak sebelum ada suatu kaum dari umatku yang mengikuti orang-orang musyrik juga sebelum ada beberapa kelompok dari umatku yang menyembah berhala. Sesungguhnya, di antara umatku, akan ada tiga puluh pendusta yang semuanya mengaku sebagai nabi, padahal akulah penutup para nabi, tiada lagi nabi sesudahku. (Sungguh pun demikian), akan senantiasa ada sekelompok orang di antara umatku yang tegak membela kebenaran dan mendapat pertolongan (dari Allah). Orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka tidak akan memudharatkan mereka sampai keputusan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ datang.”
Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, mencakup perkara-perkara penting dan berita-berita yang benar. Pada hadits ini Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang jujur dan selalu dibenarkan (perkataannya) mengabarkan bahwa Allah Subhânahu telah mengumpulkan bumi untuknya, sehingga beliau melihat kekuasaan umatnya dari ujung timur sampai ujung barat. Ternyata kabar ini telah didapati bukti kebenarannya, sungguh kekuasaan umat ini telah mencapai ujung timur dan ujung barat. Beliau juga mengabarkan bahwa dirinya diberi dua harta simpanan oleh Allah maka terjadilah sebagaimana yang dikabarkan, bahwa umat beliau berhasil menguasai kerajaan Persia dan Romawi yang, pada (kedua kerajaan tersebut), tersimpan emas, perak, dan permata.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa dirinya meminta kepada Allah agar umatnya tidak dibinasakan dengan paceklik yang menyeluruh dan tidak dikuasakan kepada musuh-musuhnya dari orang-orang kafir yang menguasai mereka dan negeri-negeri mereka. Allah mengabulkan permintaan beliau yang pertama dan mengabulkan yang kedua selama umat ini menjauhi perselisihan dan perpecahan serta saling memusuhi di antara mereka. Apabila hal tersebut terjadi maka Allah akan kuasakan mereka kepada musuh-musuhnya dari orang-orang kafir. Telah terjadi apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut ketika terjadi perselisihan umat.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengkhawatirkan atas umat dari bahaya pemimpin dan ulama yang sesat dan menyesatkan, karena manusia akan mengikuti mereka dalam kesesatan mereka. Juga beliau mengabarkan bahwa jika terjadi fitnah dan peperangan di umat ini, maka hal tersebut akan terus terjadi sampai hari kiamat. Apa yang dikabarkan itu telah terjadi, bahwa sejak ‘Utsman z terbunuh, pertumpahan darah terus berlangsung sampai hari ini.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sebagian umatnya akan bergabung dengan kaum musyrikin secara agama dan tempat tinggal, serta akan ada sekelompok umatnya yang berpindah kepada kesyirikan. Apa-apa yang dikabarkan tersebut telah terjadi, bahwa sebagian umat ini menyembah kuburan, pohon, dan bebatuan.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akan muncul orang-orang yang mengaku sebagai nabi, dan dikabarkan bahwa setiap orang yang mengaku sebagai nabi adalah pendusta karena kenabian telah berakhir dengan diutusnya beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga memberi kabar gembira dengan tetap adanya sekelompok orang dari umatnya yang tetap berada di atas Islam (yang benar) meskipun terjadi berbagai fitnah dan bencana. Sesungguhnya kelompok ini meskipun dengan jumlah yang sedikit tidak akan mendapatkan bahaya dari orang-orang yang memusuhi dan menyelisihinya.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dikalangan umatnya akan ada sekelompok orang yang menyembah berhala. Hadits ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari terjadinya kesyirikan pada umat ini.
Faedah Hadits
1. Terjadinya kesyirikan pada umat ini dan bantahan terhadap orang yang mengingkarinya.
2. Salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mengabarkan suatu perkara, kemudian perkara itu betul-betul terjadi sebagaimana yang dikabarkan.
3. Kesempurnaan kasih sayang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, bahwa, kepada Allah, beliau meminta segala sesuatu yang mengandung kebaikan untuk umat ini, yang kebaikan terbesar adalah tauhid. Beliau juga mengkhawatirkan bila umatnya tertimpa perkara-perkara yang merugikan dan membahayakan mereka, bahwa kerugian dan bahaya terbesar adalah kesyirikan.
4. Peringatan kepada umat terhadap perselisihan dan terhadap da’i-da’i kesesatan.
5. Akhir kenabian adalah dengan (pengutusan) beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
6. Kabar gembira bahwa al-haq tidak akan pernah hilang secara total, sekaligus kabar gembira tentang tetap adanya sekelompok orang yang berada di atas al-haq, yang orang-orang yang menyelisihi pengikut al-haq tidak membahayakan  mereka.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Fb: Dzulqarnain M. Sunusi - dzulqarnain.net
Twitter: @DzulqarnainMS

Salman bin Abdul Aziz Meluruskan Gelar Wahabi yang disematkan ke Saudi Arabia dan Menolak Sistem Demokrasi

Raja Salman bin Abdul Aziz dan Komitmennya Terhadap Syariat Islam !
Pemimpin yang shaleh adalah idaman bagi orang-orang yang beriman. Ketika seorang pemimpin memiliki kecakapan dalam tata negara, ditambah memiliki keshalehan, maka itu adalah karunia yang sangat besar yang Allah berikan bagi penduduk suatu negeri. Dan karunia itu kian bertambah, apabila sang pemimpin adalah orang yang memiliki perhatian terhadap agama, penegakan syariat, dan dakwah tauhid.
Kerajaan Arab Saudi adalah sedikit dari negeri yang diberikan Allah karunia besar tersebut. Raja-raja mereka begitu memiliki perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka membangun percetakan Alquran kemudian menyebarkannya ke berbagai negeri kaum muslimin, membantu pembangunan fasilitas pribadatan dan fasilitas publik, dll. Tidak heran, rakyatnya pun meneladani prilaku pemimpin mereka. Karenanya, sering kita dengar orang-orang di negeri kita mengajukan permintaan bantuan dana ke orang-orang Arab Saudi untuk kepentingan dakwah, karena mereka dikenal loyal dalam hal ini.
Setelah sebelumnya membahas tentang keahlian Raja Salman bin Abdul Aziz dalam dunia kepemimpinan dan diplomasi, berikut ini adalah sedikit kisah sisi relijius raja Arab Saudi yang baru tersebut.
Raja Salman dan Kecintaannya Kepada Alquran
Sebagaimana tradisi kerajaan-kerajaan Islam sedari dulu, anak-anak raja dan para pangeran disekolahkan di sekolah khusus kerajaan, demikian juga dengan Raja Salman bin Abdul Aziz. Ia pertama kali menimba ilmu di Madrasah Umara (Princes’ School) di Riyadh. Di sana ia mempelajari ilmu agama dan sains modern.
Di Madrasah Umara, Raja Salman bin Abdul Aziz berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat usianya masih 10 tahun. Saat itu, kepala sekolah Madrasah Umara adalah Syaikh Abdullah al-Khayyath, imam dan khotib Masjid al-Haram sekarang. Oleh karena itu, sama seperti pimpinan-pimpinan Arab Saudi lainnya, Raja Salman menaruh perhatian yang sangat besar dalam memotivasi anak-anak Arab Saudi untuk menghafalkan kitabullah.
Wujud perhatian beliau terhadap Alquran adalah dengan adanya Musabaqoh al-Amir Salman bin Abdul Aziz li Hifzhi-l Quran yang telah diselenggarakan sebanyak 17 kali di Riyadh. Musabaqoh Alquran ini berada dibawah bimbingan Kementrian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi. Sehingga diadakan merata di setiap wilayah kerajaan dengan dukungan gubernur masing-masing wilayah.
Menurut Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi, Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, lomba ini bertujuan: (1) Perhatian besar Kerajaan Arab Saudi terhadap Alquran al-Karim baik menghafalkannya, membacanya dengan tajwid yang benar, dan tafsirnya, (2) Sebagai penyemangat bagi putra-putri Arab Saudi untuk menerima Kitabullah baik dalam menghafal, memahami, mengamalkan, dan menadabburinya, (3) Membangkitkan semangat agar berlomba-lomba dalam menghafalkan Alquran dan menjaganya, dan (4) Berkontribusi mempererat hubungan umat dengan sumber kemulian mereka di dunia dan akhirat.
Komitmen Terhadap Alquran dan Sunnah dengan Pemahaman Salaf ash-Shaleh
Dalam beberapa kali kesempatan, sebelum menjadi raja, Salman bin Abdul Aziz sering menyatakan bahwa Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas syariat Islam dalam undang-undang dan sikap politiknya. Kerajaan ini juga senantiasa menolong agama Allah, berkhidmat untuk dua tanah suci, dan kaum muslimin secara umum.
Beliau mengatakan bahwa dari awal beridirnya, kerajaan ini telah berbaiat untuk berpegang teguh dengan pemahaman agama Islam yang benar secara manhaj (teori) dan praktiknya. Baik dalam hukum, asas politik, dan sosial kemasyarakatan. Hal ini telah dibuktikan dalam kurun perjalanan panjang sejarah kerajaan.
Dalam sebuah risalahnya kepada Dr. Muhammad al-Hasyimi dan Dr. Abdurrahman al-Furaih, sebagai kelanjutan penjelasannya dalam kuliah umum di Universitas Islam Madinah tahun 2008, Raja Salman mengatakan, “Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas al-Kitab dan as-sunnah bukan berdasar hukum-hukum kabilah atau ideologi-ideologi buatan manusia. Kerajaan ini berdiri dengan berasaskan akidah Islam sejak lebih dari 270 tahun lalu, ketika al-Imam Muhammad bin Suud dan Syaikh Muhammad bin Abdullah Wahab –rahimahumallahu- menyebarkan Islam dan menegakkan agama Allah ‘Azza wa Jalla…
…Oleh karena berpegang pada asas inilah, musuh-musuh negeri ini senantiasa menyerangnya sejak dari awal berdirinya hingga hari ini. Mereka menggunakan istilah-istilah yang menjelekkan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan kepada Islam sesuai dengan Alquran dan as-sunnah. Muncullah istilah wahabi untuk mendistorsi sejarah kerajaan ini. Lalu mereka kaitkan istilah tersebut dengan sebuah sekte (Khawarij pen.) yang muncul di Afrika Utara yang dibawa oleh Abdul Wahab bin Rustum pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Kelompok ini dikenal menyimpang secara akidah dan keluar dari tuntunan sunnah Nabi kita al-Mushtofa ‘alaihi ash-shalatu wa salam. Dan Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwa’ir telah menjelaskan kekeliruan penisbatan sejarah istilah ini secara historis dalam bukunya Tash-hih Khata-i Tarikhi Haula al-Wahabiyah.
Pada tahun 1365 H/1946 di Mina, Raja Abdul Aziz telah menjelaskan kepada para pimpinan jamaah haji tentang prinsip dasar kerajaan. Raja Abdul Aziz mengatakan, “Orang-orang menyebut kami adalah wahabi, padahal sebenarnya kami adalah salafi yang menjaga agama kami dan mengikuti Kitabullah dan sunnah Rasulullah”. Itulah asas Kerajaan Arab Saudi sejak pertama kali berdiri. Yang jadi pertanyaan, bisakah orang-orang yang membaca karya-karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Agar tuduhan yang dilemparkan ini memang terbukti.
Meluruskan Istilah Wahabi
Saat menjadi Gubernur Riyadh, Raja Salman bin Abdul Aziz menantang orang-orang yang menggelari Kerajaan Arab Saudi dengan sebutan wahabi. Beliau mengatakan, “Musuh-musuh dakwah (Islam) menggelari dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan wahabi, padahal kami tidak mengenal yang demikian”.
Dalam sebuah press conference, Salman bin Abdul Aziz –sewaktu masih menjabat Gubernur Riyadh- berbicara di hadapan para wartawan, “Saya berbicara kepada kalian hari ini, di sebuah daerah yang menjadi tempat munculnya dakwah yang dipimpin oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Propinsi Dir’iyah). Apa yang mereka serukan adalah dakwah Islam yang tidak ada penyimpangan maupun ketidak-jelasan di dalamnya”. Kemudian beliau menambahkan, “Saya tantang (orang-orang yang menuduh dakwah ini menyimpang pen.) untuk menemukan satu huruf saja dari buku-buku karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau dalam risalahnya, yang menyelisihi Kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”
Beliau menjelaskan, “Muncul dan berdirinya Kerajaan Arab Saudi dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dakwahnya adalah dakwah yang bersih (dari kesesatan), yang bersumber kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada selain dari kedua hal itu”.
Pandangannya Terhadap Demokrasi
Pada tahun 2010, Raja Salman pernah diwawancarai oleh Karen Elliot House, penulis buku On Saudi Arabia: Its People, Religion, Fault Lines. Raja mengatakan, “Jika Amerika bisa bersatu karena demokrasi, Arab Saudi pada dasarnya bersatu karena keluarga kerajaan”.
Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan Raja Salman Pemersatu Arab Saudi, pengaruh kabilah kerajaan begitu diterima suku-suku atau kabilah-kabilah yang ada di Arab Saudi. Kerajaan berhasil menjadi wadah bagi setiap kabilah untuk bersama-sama mewujudkan pemerintahan yang islami.
Dalam Associated Press, House mengatakan bahwa Raja Salman juga mengatakan, “Kita tidak bisa memiliki demokrasi di Arab Saudi, jika kita melakukannya maka setiap kesukuan akan membentuk partai dan kemudian Arab Saudi akan bernasib seperti Irak yang kacau”.
Apa yang disampaikan oleh Raja Salman menunjukkan kepandaiannya dalam memberikan statement. Ia berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman lawan bicaranya.
Dilansir Al Jazeera pada tahun 2007, Raja Salman menyampaikan statementnya di Kedutaan Amerika di Riyadh dengan mengatakan, “Kecepatan tingkat pembangunan tergantung pada faktor-faktor sosial dan budaya,… atas dasar alasan sosial –kecuali alasan agama- reformasi tidak bisa dipaksakan oleh (pemerintah Saudi) jika tidak, akan muncul reaksi negatif,… perubahan harus diperkenalkan dengan cara yang mengena dan tepat waktu. Demokrasi tidak boleh dipaksakan di Arab Saudi, karena negara ini terdiri dari suku-suku dan daerah. Jika demokrasi diberlakukan, masing-masing suku dan daerah akan memiliki partai politik”.
Pidato Pertama Sebagai Raja Arab Saudi
Di antara kalimat yang disampaikan oleh Raja Salman bin Abdul Aziz dalam pidato pertamanya:
Raja Salman mengawali pidatonya dengan pujian kepada Alllah dan shalawat kepada Rasul-Nya, kemudian ucapan bela sungkawa kepada anggota kerajaan dan seluruh rakyat Arab Saudi atas meninggalnya Raja Abdullah. Ia mengatakan:
“Segala puji bagi Allah, yang telah berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Ar-Rahman: 26-27).
Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad, kepada keluarga dan juga sahabatnya… kemudian baru beliau sampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah. Raja Salman memuji pendahulunya tersebut atas dedikasi yang ia berikan dalam hidupnya kepada agama, negara, rakyat, dan dunia Islam secara umum.
Beliau menyampaikan, “Kami akan melanjutkan –dengan rahmat dan pertolongan dari Allah- meniti jalan yang benar dan tidak akan pernah menyimpang darinya, yaitu melanjutkan konstitusi kami berdasarkan Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Kami akan melanjutkan kebijakan negara ini, negara yang telah Allah utamakan dengan memilihnya sebagai tempat risalah (Nabi-Nya) dan kiblat (kaum muslimin), untuk meningkat persatuan dan mempertahankan negara. Dengan bimbingan dari Allah berdasarkan syariat Islam sebagai agama damai, kasih sayang, dan moderat”. Kata Raja Salman.
Ia melanjutkan, “Saya memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing saya dalam melayani rakyat, mewujudkan harapan mereka, menjaga keamanan dan stabilitas negara kita, serta melindunginya dari kejahatan. Sesungguhnya Allah mampu melakukan yang demikian, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya”.
Penutup
Dari apa yang penulis sampaikan, kita sadar bahwa kepemimpinan yang sama persis dengan khalifah rasyid hanya akan terjadi di akhir zaman kelak, di masa Imam Mahdi. Usaha-usaha dan komitmen yang dilakukan pemerintah Arab Saudi sekarang untuk berpegang kepada Alquran dan sunnah sudah sangat kita apresiasi. Tidak ada negara di dunia ini, yang menerapkan syariat Islam lebih dari apa yang mereka lakukan. Sampai salah seorang polisi syariah di Arab Saudi pun tidak merasa betah dan jengah ketika berada di salah satu negeri Teluk luar Arab Saudi, karena ia menyaksikan pemandangan mall dan pasar-pasar yang masih penuh saat memasuki waktu shalat. Itu perbandingan negeri Teluk di luar Arab Saudi, bagaimana dengan selain negara-negara Arab di luar Teluk yang lebih bebas? Bagaimana lagi dengan selain negara-negara Arab, seperti di negara kita?
Semoga Allah tetap menjaga kerajaan ini dan meningkatkan peranannya untuk Islam dan kaum muslimin. Dan semoga Allah memperbaiki negara kita, memberi taufik kepada pemimpin-pemimpin dan rakyat-rakyatnya.


----------- bersumber dari kisahmuslimdotcom

Dari Admin :
Seorang warga Saudi menulis di lembaran bukunya:
Saya tidur dan pemimpinku: Abdullah.
Dan, aku bangun; pemimpinku: Salman.
Tanpa ada pertumpahan darah...
Tanpa ada kekacauan...
Tanpa ada kondisi yang mencekam...
Tanpa ada penguasa transisi/ sementara...
Dari lubuk hatiku:
Alhamdulillah atas nikmat dari tuntunan Syari'at.

Memperingati Maulid Nabi Bolehkah ?

♠ Posted by admin in ,
Hukum Memperingati Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah (siapakah beliau silahkan klik disini) –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam  yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu". Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu".
Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  termasuk bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan. 


Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid 2 hal 298-300.

Kutipan tambahan :
"  Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil "
Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? …”. Maka cukup hal itu dijawab dengan  hadits ‘Aisyah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Hadits sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah.