♠ Posted by admin in ,,
Umur siapa yang tahu, demikian juga seorang pemuda, bagaimanapun kuatnya juga tak bisa mengelak dari hal tersebut. Kisah nyata ini diceritakan sendiri oleh pelakunya dan pernah disiarkan oleh Radio Al Qur’an di Makkah al Mukarramah. Kisah ini terjadi pada musim haji dua tahun yang lalu  di daerah Syu’aibah, yaitu daerah pesisir pantai laut merah, terletak 110 Km di Selatan Jeddah. Pemilik kisah ini berkata: Ayahku adalah seorang imam masjid, namun demikian aku tidak shalat. Beliau selalu memerintahkan aku untuk shalat setiap kali datang waktu shalat. Beliau membangunkan ku untuk shalat subuh. Akan tetapi aku berpura-pura seakan-akan pergi ke masjid padahal tidak. Bahkan aku hanya mencukupkan diri dengan berputar-putar naik mobil hingga jama’ah selesai menunaikan shalat. Keadaan yang demikian terus berlangsung hingga aku berumur 21 tahun. Pada seluruh waktuku yang telah lewat tersebut aku jauh dari Allah dan banyak bermaksiat kepada-Nya. Tetapi meskipun aku meninggalkan shalat, aku tetap berbakti kepada kedua orang tuaku. Inilah sekelumit dari kisah hidupku di masa lalu Pada suatu hari, kami sekelompok pemuda bersepakat untuk pergi rekreasi ke laut. Kami berjumlah lima orang pemuda. Kami sampai di pagi hari, lalu membuat tenda di tepi pantai. Seperti biasanya kamipun menyembelih kambing dan makan siang. setelah makan siang, kamipun mempersiapkan diri turun ke laut untuk menyelam dengan tabung oksigen. sesuai aturan, wajib ada satu orang yang tetap tinggal di luar, di sisi kemah, hingga dia bisa bertindak pada saat para penyelam itu terlambat datang pada waktu yang telah ditentukan. Akupun duduk, dikarenakan aku lemah dalam penyelaman. Aku duduk seorang diri di dalam kemah, sementara disamping kami juga terdapat sekelompok pemuda yang lain. Saat datang waktu shalat, salah seorang diantara mereka mengumandangkan adzan, kemudian mereka mulai menyiapkan shalat. Aku terpaksa masuk ke dalam laut untuk berenang agar terhindar dari kesulitan yang akan menimpaku jika aku tidak shalat bersama mereka. Karena kebiasaan kaum muslimin di sini adalah sangat menaruh perhatian terhadap shalat berjamaah dengan perhatian yang sangat besar, hingga menjadi aib bagi kami jika seseorang shalat fardhu sendirian. Aku sangat mahir dalam berenang. Aku berenang hingga merasa kelelahan sementara aku berada di daerah yang dalam. AKu memutuskan untuk tidur diatas punggungku dan membiarkan tubuhku hingga bisa mengapung di atas air. Dan itulah yang terjadi. Secara tiba-tiba, seakan-akan ada orang yang menarikku ke bawah… aku berusaha untuk naik…..aku berusaha untuk melawan….aku berusaha dengan seluruh cara yang aku ketahui, akan tetapi aku merasa orang yang tadi menarikku dari bawah menuju ke kedalaman laut seakan-akan sekarang berada di atasku dan menenggelamkan kepalaku ke bawah. Aku berada dalam keadaan yang ditakuti oleh semua orang. Aku seorang diri, pada saat itu aku merasa lebih lemah daripada lalat. Nafaspun mulai tersendat, darah mulai tersumbat di kepala, aku mulai merasakan kematian! Tiba-tiba, aku tidak tahu mengapa…aku ingat kepada ayahku, saudara-saudaraku, kerabat-kerabat dan teman-temanku… hingga karyawan di toko pun aku mengingatnya. Setiap orang yang pernah lewat dalam kehidupanku terlintas dalam ingatanku…semuanya pada detik-detik yang terbatas…kemudian setelah itu, aku ingat diriku sendiri..!.!! Mulailah aku bertanya kepada diriku sendiri…apa engkau shalat? Tidak. Apa engkau puasa? Tidak. Apa engkau telah berhaji? Tidak. Apa engkau bershadaqah? Tidak. Engkau sekarang di jalan menuju Rabbmu, engkau akan terbebas dan berpisah dari kehidupan dunia, berpisah dari teman-temanmu, maka bagaimana kamu akan menghadap Rabb-mu? Tiba-tiba aku mendengar suara ayahku memanggilku dengan namaku dan berkata: “Bangun dan shalatlah.” Suara itupun terdengar di telingaku tiga kali. Kemudian terdengarlah suara beliau adzan. Aku merasa dia dekat dan akan menyelamatkanku. Hal ini menjadikanku berteriak menyerunya dengan memanggil namanya, sementara air masuk ke dalam mulutku. Aku berteriak….berteriak…tapi tidak ada yang menjawab. Aku merasakan asinnya air di dalam tubuhku, mulailah nafas terputus-putus. Aku yakin akan mati, aku berusaha untuk mengucapkan syahadat….kuucapkan Asyhadu…Asyhadu…aku tidak mampu untuk menyempurnakannya, seakan-akan ada tangan yang memegang tenggorokanku dan menghalangiku dari mengucapkannya. Aku merasa bahwa nyawaku sudah dalam perjalanan keluar dari tubuhku. Akupun berhenti bergerak…inilah akhir dari ingatanku. Aku terbangun sementara kau berada di dalam kemah…dan di sisiku ada seorang tentara dari Khafar al Sawakhil (penjaga garis batas laut), dan bersamanya para pemuda yang tadi mempersiapkan diri untuk shalat. Saat aku terbangun, tentara itu berkata:”Segala puji bagi Allah atas keselamatan ini.” Kemudian dia langsung beranjak pergi dari tempat kami. Aku pun bertanya kepada para pemuda tentang tentara tersebut. Apakah kalian mengenalnya? Mereka tidak mengetahuinya, dia datang secara tiba-tiba ke tepi pantai dan mengeluarkanmu dari laut, kemudian segera pergi sebagaimana engkau lihat, kata mereka. Akupun bertanya kepada mereka: “Bagaimana kalian melihatku di air?” Mereka menjawab,”Sementara kami di tepi pantai, kami tidak melihatmu di laut, dan kami tidak merasakan kehadiranmu, kami tidak merasakannya hingga saat tentara tersebut hadir dan mengeluarkanmu dari laut.” Perlu diketahui bahwa jarak terdekat denga Markas Penjaga Garis Laut adalah sekitar 20 Km dari kemah kami, sementara jalannya pun jalan darat, yaitu membutuhkan sekitar 20 menit hingga sampai di tempat kami sementara peristiwa tenggelam tadi berlangsung dalam beberapa menit. Para pemuda itu bersumpah bahwa mereka tidak melihatku. Maka bagaimana tentara tersebut melihatku? Demi Rabb yang telah menciptakanku, hingga hari ini aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai kepadaku. seluruh peristiwa ini terjadi saat teman-temanku berada dalam penyelaman di laut. Ketika aku bersama para pemuda yang menengokku di dalam kemah, HP-ku berdering. segera HP kuangkat, ternyata ayah yang menelepon. Akupun merasa bingung, karena sesaat sebelumnya aku mendengar suaranya ketika aku di kedalaman, dan sekarang dia menelepon? Aku menjawab….beliau menanyai keadaanku, apakah aku dalam keadaan baik? Beliau mengulang-ulangnya, berkali-kali. Tentu saja aku tidak mengabarkan kepada beliau, supaya tidak cemas. Setelah pembicaraan selesai aku merasa sangat ingin shalat. Maka aku berdiri dan shalat dua rakaat, yang selama hidupku belum pernah aku lakukan. Dua rakaat itu aku habiskan selama dua jam. Dua rakaat yang kulakukan dari hati yang jujur dan banyak menangis di dalamnya. Aku menunggu kawan-kawanku hingga mereka kembali dari petualangan. Aku meminta izin pulang duluan. Akupun sampai di rumah dan ayahku ada di sana. Pertama kali aku membuka pintu, beliau sudah ada di hadapanku dan berkata: “Kemari, aku merindukanmu!” Akupun mengikutinya, kemudian beliau bersumpah kepadaku dengan nama Allah agar aku mengatakan kepada beliau tentang apa yang telah terjadi padaku di waktu Ashar tadi. Akupun terkejut, bingung, gemetar dan tidak mampu berkata-kata. Aku merasa beliau sudah tahu. Beliau mengulangi pertanyaannya dua kali. Akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi padaku. Kemudian beliau berkata:”Demi Allah, sesungguhnya aku tadi mendengarmu memanggilku, sementara aku dalam keadaan sujud kedua pada akhir shalat Ashar, seakan-akan engkau berada dalam sebuah musibah. Engkau memanggil-manggilku dengan teriakan yang menyayat-nyayat hatiku. Aku mendengar suaramu dan aku tidak bisa menguasai diriku hingga aku berdo’a untukmu dengan sekeras-kerasnya sementara manuisa mendengar do’aku. Tiba-tiba, aku merasa seakan-akan ada seseorang yang menuangkan air dingin di atasku. Setelah shalat, aku segera keluar dari masjid dan menghubungimu. Segala puji bagi Allah, aku merasa tenang bagitu mendengar suaramu. Akan tetapi wahai anakku, engkau teledor terhadap shalat. Engkau menyangka bahwa dunia akan kekal bagimu, dan engkau tidak mengetahui bahwa Rabbmu berkuasa merubah keadaanmu dalam beberapa detik. Ini adalah sebagian dari kekuasaan Allah yang Dia perbuat terhadapmu. Akan tetapi Rabb kita telah menetapkan umur baru bagimu. Saat itulah aku tahu bahwa yang menyelamatkan aku dari peristiwa tersebut adalah karena Rahmat Allah Ta’ala kemudian karena do’a ayah untukku. Ini adalah sentuhan lembut dari sentuhan-sentuhan kematian. Allah Ta’ala ingin memperlihatkan kepada kita bahwa betapapun kuat dan perkasanya manusia akan menjadi makhluk yang paling lemah di hadapan keperkasaan dan keagungan Allah Ta’ala. Maka semenjak hari itu, shalat tidak pernah luput dari pikiranku. Alhamdulillah. Wahai para pemuda, wajib atas kalian taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ya Allah, ampunilah kami dan kedua orang tua kami, terimalah taubat kami dan taubat mereka dan rahmatilah mereka dengan rahmat-Mu.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban ibadah kita walaupun kelihatannya sepele.

Berpuasa 10 hari Bulan Dzulhijjah

♠ Posted by admin in
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".

Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah puasa yang dikerjakan mulai tanggal satu hingga tanggal sembilan dari bulan tersebut. Karena tanggal sepuluh dzul hijjah merupakan hari raya kaum muslimin ('iedul adha), yang diharamkan bagi mereka untuk berpuasa padanya dan pada tiga hari setelahnya, yang dikenal dalam bahasa syar'i dengan hari-hari tasyrik, kecuali bagi mereka yang dikecualikan oleh syari'at islam maka diperbolehkan berpuasa pada hari-hari tasyrik tersebut. Dan Al Imam An Nawawi telah menjelaskan maksud ini dalam kitab beliau "Syarh Shahih Muslim" (8/320/1176).

Al Imam Ibn Rajab Al Hanbali berkata :  " Perkara ini telah dikenal dengan berpuasa pada sepuluh hari (pertama) di bulan dzul hijjah, padahal puasa yang dilakukan hanyalah sembilan hari. Oleh karena itu Al Imam Ibnu Siriin membenci ketika disebut dengan puasa sepuluh hari di bulan dzul hijjah, bahkan beliau rahimahullah mengatakan bahwa (yang sesuai) dalam penyebutan adalah puasa sembilan hari. Tetapi mayoritas dari kalangan para ulama tidak membenci hal tersebut, karena penyandaran sepuluh hari pada bulan dzul hijjah maksudnya adalah puasa yang mungkin dilakukan oleh seseorang, selain dari hari raya ('iedul adha) tentunya, dan penyebutan sepuluh hari tersebut adalah secara mutlak, karena hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa padanya lebih banyak dari hari yang dilarang."(Latha"if Ma'arif/279).
"Maka berpuasa sembilan hari (dzul hijjah) ini bukan perkara yang dibenci, bahkan sangat disunnahkan, terlebih lagi pada tanggal sembilan (dzul hijjah), yang merupakan hari arafah, dan telah dijelaskan apa-apa yang berkaitan dengan keutamaan hari tersebut. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah." (Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176).

“Berkata Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi : "Disunnahkan bagi seseorang untuk melakukan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan bulan dzul hijjah, karena disana telah datang satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda (yang artinya) : "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini." (Al Kafi Fi Fiqhil Imam Al Mubajjal Ahmad bin Hanbal : 1/362).
Berkata Al Imam An Nawawi : 

"Maka berpuasa sembilan hari (dzul hijjah) ini bukan perkara yang dibenci, bahkan sangat disunnahkan, terlebih lagi pada tanggal sembilan (dzul hijjah), yang merupakan hari arafah, dan telah dijelaskan apa-apa yang berkaitan dengan keutamaan hari tersebut. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah." (Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176).